Welas Asih: Masihkah Relevan di Masa Kini?

Share this post

Welas Asih: Masihkah Relevan di Masa Kini?

“Dunia yang lebih berwelas asih dimulai dari individu, orang-orang seperti Anda dan saya. Semoga buku ini membantu Anda melihat bahwa welas asih tidaklah heroik; welas asih itu manusiawi.”-hlm 254

Di budaya kontemporer penuh dengan hiruk pikuk dan tuntutan untuk berkompetisi, istilah welas asih seakan menjadi kosa kata asing untuk kehidupan pribadi maupun bermasyarakat kita. Secara pribadi, kita sering kali merasa bahwa ketika kita telah melakukan sesuatu yang penting atau menorehkan sejumlah prestasi, kita baru boleh berwelas asih terhadap diri kita. Kita harus bersikap keras terhadap diri kita, memecutnya setiap saat tanpa membiarkannya istirahat atau memberi ruang untuk kesalahan. Tak jauh berbeda dalam bermasyarakat, kita cenderung memiliki hubungan yang rumit dengan nilai seperti welas asih. Kita penuh curiga terhadap orang asing dan penuh perasaan ambivalen terhadap orang yang pernah melukai kita. Maka dari itu, pemikiran bahwa berwelas asih terhadap diri dan orang lain membuat diri kita lemah pun jadi makanan sehari-hari. Welas asih juga kerap dianggap sebagai urusan agama dan moralitas—urusan pribadi yang hampir tak punya hubungan dengan masyarakat. Padahal, sesungguhnya manusia terlahir dengan kemampuan alamiah untuk bisa berempati dan berwelas asih terhadap sesama.

Berpijak dari pandangan tersebut, Thupten Jinpa memaparkan secara cantik—sesuai judul buku tersebut—bagaimana berani berwelas asih justru tak memberikan hasil yang negatif seperti dalam bayangan kita. Welas asih ternyata dapat mengubah hidup kita menuju arah yang lebih baik, mulai dari mengubah cara kita menyikapi masalah, berhubungan dengan orang lain, dan bekerja dengan hati. “Hati Tanpa Gentar” menyajikan tak hanya penjelasan mengenai kehebatan berwelas asih melalui pengalaman hidup dan observasi, namun disertai pula dengan berbagai penelitian ilmiah di bidang psikologi. Dalam salah satu bab dalam buku ini misalnya, Thupten Jinpa tidak hanya menjelaskan mengenai bagaimana welas asih membantu membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain melalui sudut pandang pribadinya, namun juga disertai penelitian ilmiah yang memaparkan manfaatnya yang dapat melawan salah satu bentuk penderitaan yang paling menyakitkan—kesepian. Isu yang dibahas dalam buku ini pun beragam—dari masalah yang sifatnya personal hingga masalah yang sudah berakar dan sistemik di dunia seperti persoalan menyikapi rasialisme.

Secara umum, buku ini mengupas paradigma welas asih menjadi 3 bagian besar, bagian 1 menjelaskan alasan pentingnya welas asih dalam hidup, bagian 2 menjelaskan mengenai cara-cara piawai dalam melatih batin dan hati kita, dan bagian akhir ditutup dengan pembahasan mengenai membangun cara baru dalam bersikap. Melalui bagian-bagian tersebut, Thupten Jinpa tidak sekadar mengutarakan peran penting welas asih dalam hidup, tetapi juga pada akhirnya secara apik menampik pandangan kita yang sering kali keliru melihat welas asih sebagai sesuatu yang naif, suci, dan terlalu tinggi untuk bisa kita praktikkan. Pada bagian 2 dalam buku ini, kita juga diajarkan langsung mengenai praktik-praktik sederhana yang bisa kita lakukan secara mandiri langkah demi langkah untuk membangkitkan welas asih terhadap diri sendiri dan orang lain. Pada bagian akhir, Thupten Jinpa juga dengan mahir memberikan pengaplikasian welas asih dalam berbagai konteks—rumah, sekolah, bahkan tempat kerja yang sering kali dihubung-hubungkan dengan persaingan yang saling sikut.

Jika Anda pernah bertanya-tanya dalam diri, “Bagaimana aku bisa melangkah dari masa lalu yang pahit?”, “Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang telah menyakitiku dengan dalam?”, atau sesederhana, “Bagaimana aku bisa menjalani keseharianku dengan lebih bahagia dan penuh makna?”, “Hati Tanpa Gentar” adalah buku yang tepat. Meskipun sarat akan istilah-istilah Buddhisme dan padanan kata ilmiah, buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh kalangan manapun karena gaya bahasanya yang universal dan sederhana. Buku ini juga memberikan contoh-contoh yang dekat dengan keseharian kita dalam menjelaskan welas asih, mulai dari kisah seorang perawat yang harus menghadapi seorang ibu dengan anaknya yang sekarat, hingga kisah Camellia Group, sebuah perusahaan yang berhasil menjaga kesejahteraan karyawannya dengan filosofi welas asih. Melalui kisah-kisah tersebut, pembaca diajak untuk merasakan pengalaman berbagai orang dalam buku ini secara langsung sebagai penguat bahwa welas asih bukanlah sesuatu yang hanya bisa dibangun oleh segelintir orang terpilih. Welas asih merupakan sesuatu yang sesungguhnya amat dekat dengan diri kita dan hanya butuh pemicu dari diri kita untuk mengobarkannya.

Pada akhirnya, buku ini juga memberikan tantangan bagi kita untuk merefleksikan sikap kita terhadap hidup yang kita jalani:  

“Pertanyaannya bukan apakah saya berwelas asih atau tidak; melainkan: Apakah saya akan membuat pilihan untuk mengekspresikan bagian yang lebih berwelas asih dari diri saya? Entah kita menjalani hidup kita dengan welas asih atau tidak, entah kita berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar kita dengan welas asih, pengertian, dan kebaikan atau tidak—semua ini tergantung pada kita.” -hlm 254

Satu keunggulan buku ini yang tak akan lekang oleh waktu adalah selama kita masih hidup sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan orang lain, buku ini akan selalu relevan, berapa kali pun kita membacanya.

“Hati Tanpa Gentar”
Karya Thupten Jinpa Ph.D

Tersedia di Google Play Books.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


WeCreativez WhatsApp Support
Tim Call Center kami akan membantu Anda. Tanya apa saja.
👋 Halo, Ada yang bisa saya bantu?